Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 Januari 2012

TUJUAN DIDIRIKANNYA NU

Untuk apa dan kenapa NU didirikan? Masalah ini sering jadi bahan pertanyaan bagi orang-orang, lebih-lebih ketika ada masalah-masalah yang janggal ataupun mencengangkan bagi masyarakat, sedang masalah itu timbul atau dilakukan oleh orang-orang NU. Bahkan di kalangan NU, hatta pemimpinnya ataupun elitnya pun perlu mencurahkan tenaga dan fikiran secara tersendiri untuk menjawab ataupun menangkis pandangan orang tentang untuk apa sebenarnya NU didirikan. Sebagaimana Abdurrahman Wahid telah berupaya menulis artikel untuk menangkis sebisa-bisanya tentang pandagan para sejarawan tentang berdirinya NU.
Oleh karena itu, setelah dikemukakan upaya Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dalam menangkis pandangan para sejarawan, maka kini pada gilirannya ditampilkan penuturan para sejarawan mengenai kenapa NU didirikan.

Karel A. Steenbrink menulis seputar berdirinya NU sebagai berikut:

Ketika di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan dengan penghapusan khalifah di Turki Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang nantinya mendirikan NU, pen) juga menjadi anggota bersama Mas Mansur (tokoh yang masuk persyarikatan Muhammadiyah sejak 1922, pen). Beberapa rencana panitia ini untuk menghadiri muktamar dunia Islam tertunda, karena terjadi peperangan Wahabi di Saudi Arabia.

Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut terlaksana meski dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah mengundurkan diri dari kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping pengalaman dunia yang tidak cukup luas. Menurut kelompok lainnya, dia tidak dikirim karena dia akan membela kemerdekaan mazhab Syafii di kota Mekkah yang saat itu dikuasai Wahabi. Dan memang, yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka yang menolak taqlid dan dicap Wahabi, termasuk di antaranya Mas Mansur.

Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya: Abdul Wahab Hasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite merembuk Hijaz.” Bermula dari komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (NU) memang muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafiâ’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Memang, tiga tahun kemudian Wahab Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk membicarakan persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan pengajaran agama menurut mazhab Syafiâ’i. Pada saat itu, Raja Ibnu Saud menjanjikan tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami keinginan NU tersebut.

Kalau ungkapan itu dikemukakan oleh peneliti Belanda, ternyata persepsi yang hampir sama ditulis pula oleh peneliti Indonesia, H Endang Saifuddin Anshari MA seperti yang ia tulis:

Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asyâ’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain. Usahanya antara lain memperkembangkan dan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqh. Tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.

Kegiatan politik praktis NU mulai surut ketika memfusikan diri ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) 1973. Lalu ditegaskan bahwa NU bukan wadah bagi kegiatan politik praktis dalam Munas (Musyawarah Nasional)nya di Situbondo Jawa Timur 1983, dan diperkuat oleh Muktamar NU 1984 yang secara eksplisit menyebut NU meninggalkan kegiatan politik praktisnya.

Dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, NU dengan tegas menerima asas tunggal Pancasila dan menyatakan kembali kepada khittah 1926 yang berarti meninggalkan kegiatan politik praktis.

Perkembangan berikutnya, pada bulan Juni 1998, PBNU memfasilitasi lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partasi Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sementara itu, sebagian cukup besar warga NU yang lain tetap bertahan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.

Perkembangan berikutnya lagi, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI. Melalui Muktamar pada Nopember 1999, Abdurrahman Wahid lengser sebagai ketua umum PBNU, yang telah dijabatnya selama 15 tahun. Kepemimpinan beralih dari ‘duet⒠KH Ilyas Rucjhiat-KH Abdurrahman Wahid ke tangan KHMA Sahal Mahfudz- (Rais Aam Syuriyah PBNU)-KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar